Selasa, 26 Juni 2007 22:51 WIB
Kultur Islam Dan Ugamo Parmalim
Waspada Online
Ugamo Parmalim menjadi kepercayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanulang ada desa bernama Kampung Mudik sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah disebut Parsaktian.
Kepercayaan asli etnis Batak itu, menurut Ustadz Djamaluddin sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan simbol-simbol agama Samawi, khususnya Islam.
Menurut dia, Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Dikatakan, saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan.
Dari 360 dukun itu, separuh di antaranya (180 orang) menggunakan bacaan pembuka dan penutup mantra (tabas) dengan ucapan mirip bacaan Islam dan Yahudi (Hebrew).
Pembukaan mantra itu kira-kira; "Binsumillah dirakoman dirakomin" dan penutupnya "Yasa Yasu Yausa" Sedangkan separuh di antaranya menggunakan pembuka dan penutup tabas dengan bahasa mirip ucapan Islam. Untuk pembukaan: "Bismillahirrahmanirrahiem" dan penutupnya; "Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau "Borkat Kobul Baginda Saidina Ali."
Berdasarkan fakta itu, Ustadz Djamaluddin Batubara berkeyakinan, ada hubungan antara Parmalim dengan agama-agama Samawi. Menurut dia, Al Qur'an ada menyebutkan kepercayaan monotheisme Ibrahim dikenal dengan "millah (ta) Ibrahim."
Lalu, jika dihubungkan cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja (Nabi) Sulaiman membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus), diperkirakan kala itulah keyakinan monotheisme terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan etnis Batak.
Selain itu, dalam sejarah asal Keturunan Raja Barus, disebutkan pula raja I etnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I sekira tahun 1550 M sudah memeluk agama Islam dan mengembangkannya hingga ke Aceh dan Minangkabau.
Sisingamangaraja I sendiri merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.
Dalam sejarahnya kemudian Sisingamangaraja I itu mendirikan kerajaan baru berpusat di Bakkara. Kata 'Bakkara' sendiri diambil dari salah satu surah di Al Qur'an, yakni Surah Al Baqarah (Lembu Betina).
Hal itu dikarenakan daerah jadi pusat kerajaan Sisingamangaraja I merupakan dataran banyak lembunya. Diceritakan pula, antara Barus dan Bakkara terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan menghubungkan kedua kerajaan itu.
Sisingamangaraja I dalam memerintah rakyatnya, berpedoman pada sejumlah pegangan spiritual bernuansa monotheistis. Misalnya, menyucikan diri, tidak memakan darah dan daging yang tidak disembelih (mate garam).
Tidak menenggak minuman yang memabukkan. Mendirikan rumah ibadah tempat berdoa kepada Tuhan YME. Menghapuskan perbudakan, mencintai kebersihan, kesehatan dan menganjurkan penduduk membuat sumber air (sumur) untuk kelompok warga. Mengutamakan musyawarah (syura) dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, umum sudah diketahui penanggalan Raja Batak sejak awal telah menggunakan penanggalan Islam, yakni Hijriah. Itu terlihat dari cap kerajaan para penguasa Batak, misalnya cap Sisingamangaraja XII bertuliskan Arab/Melayu dengan penanggalan tahun 1304 Hijratun Nabi.
Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak, cenderung mendekati simbol-simbol ke-Islaman. Misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan.
Berbagai peraturan dibuat Sisingamangaraja I menjadi pedoman kehidupan bagi etnis Batak di kemudian hari juga bernuansa monotheistis. Sayangnya, pedoman itu kemudian tidak berlanjut, karena ketiadaan penganjur Islam (pendakwah) dekat dengan kerajaan Batak sepeninggal Raja Uti. Islam Tauhid (monotheis) itulah di kemudian hari dikenal sebagai kepercayaan Parmalim, tutur Ustadz Djamaluddin Batubara.
Perebutan Eksistensi
Sayangnya kepercayaan asli etnis Batak itu, belakangan kian menyusut dan kehilangan eksistensinya. Pasca menyebarnya Protestantisme dibawa Dr. I.L Nomensen ke Tano Batak, Parmalim menghadapi tekanan keras. Watak ekspansionisme Protestan, ternyata tidak memberikan peluang kepada kepercayaan asli itu untuk tetap hidup dalam keberagaman keyakinan. Akibatnya, Parmalim menjadi keyakinan yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.
Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak beragama Kristen Protestan/Katholik meyakini konsep Trinitas.
Kedua, sinkretisme simbol-simbol Parmalim-Islam mengganggu missi untuk menjadikan Tano Batak sebagai wilayah Judea di Andalas. Artinya, klaim bahwa etnis Batak sama dengan orang Kristen masih bisa dianulir.
Berbeda dengan orang Minang, Aceh dan Melayu yang bisa mengklaim dirinya sama dengan orang Islam.
Ketiga, kebijakan pemerintah dan agama-agama dominatif mengabaikan, bahkan berniat melenyapkan eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.
Sebagai sebuah warisan spiritual masa lalu di negeri ini, Ugamo Parmalim seharusnya tidak bisa dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada belakangan sebagai sempalan agama-agama dominatif (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu).
Hal itu dikarenakan Parmalim memang dilahirkan dari rahim keyakinan masa lalu nenek moyang bangsa, keberadaannya jauh lebih terdahulu dibanding agama-agama resmi yang ada.
Akan bijaksana jika political will pemerintah, khususnya Pemprov Sumatera Utara memberikan perlindungan atas keberadaan Ugamo Parmalim itu.
Seminar tentang Perjuangan Sisingamangaraja XII yang berlangsung Akhir Mei 2007 lalu di Medan, setidaknya bisa menjadi langkah awal yang baik untuk memberikan ruang lebih terbuka kepada Parmalim menunjukkan eksistensinya di tengah pergaulan antar agama.
Sebaliknya, kasus penolakan masyarakat sekitar terhadap pendirian Parsaktian di Jalan Air Bersih, Medan , beberapa waktu lalu, patut dipandang sebagai upaya tidak memberikan ruang toleransi kepada kepercayaan asli etnis Batak itu.
Semestinya toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul prasangka toleransi beragama cuma lip servis digunakan untuk kepentingan sempit agamaagama tertentu.
*Abdul Khalik
Kultur Islam Dan Ugamo Parmalim
Waspada Online
Ugamo Parmalim menjadi kepercayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanulang ada desa bernama Kampung Mudik sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah disebut Parsaktian.
Kepercayaan asli etnis Batak itu, menurut Ustadz Djamaluddin sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan simbol-simbol agama Samawi, khususnya Islam.
Menurut dia, Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Dikatakan, saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan.
Dari 360 dukun itu, separuh di antaranya (180 orang) menggunakan bacaan pembuka dan penutup mantra (tabas) dengan ucapan mirip bacaan Islam dan Yahudi (Hebrew).
Pembukaan mantra itu kira-kira; "Binsumillah dirakoman dirakomin" dan penutupnya "Yasa Yasu Yausa" Sedangkan separuh di antaranya menggunakan pembuka dan penutup tabas dengan bahasa mirip ucapan Islam. Untuk pembukaan: "Bismillahirrahmanirrahiem" dan penutupnya; "Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau "Borkat Kobul Baginda Saidina Ali."
Berdasarkan fakta itu, Ustadz Djamaluddin Batubara berkeyakinan, ada hubungan antara Parmalim dengan agama-agama Samawi. Menurut dia, Al Qur'an ada menyebutkan kepercayaan monotheisme Ibrahim dikenal dengan "millah (ta) Ibrahim."
Lalu, jika dihubungkan cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja (Nabi) Sulaiman membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus), diperkirakan kala itulah keyakinan monotheisme terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan etnis Batak.
Selain itu, dalam sejarah asal Keturunan Raja Barus, disebutkan pula raja I etnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I sekira tahun 1550 M sudah memeluk agama Islam dan mengembangkannya hingga ke Aceh dan Minangkabau.
Sisingamangaraja I sendiri merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.
Dalam sejarahnya kemudian Sisingamangaraja I itu mendirikan kerajaan baru berpusat di Bakkara. Kata 'Bakkara' sendiri diambil dari salah satu surah di Al Qur'an, yakni Surah Al Baqarah (Lembu Betina).
Hal itu dikarenakan daerah jadi pusat kerajaan Sisingamangaraja I merupakan dataran banyak lembunya. Diceritakan pula, antara Barus dan Bakkara terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan menghubungkan kedua kerajaan itu.
Sisingamangaraja I dalam memerintah rakyatnya, berpedoman pada sejumlah pegangan spiritual bernuansa monotheistis. Misalnya, menyucikan diri, tidak memakan darah dan daging yang tidak disembelih (mate garam).
Tidak menenggak minuman yang memabukkan. Mendirikan rumah ibadah tempat berdoa kepada Tuhan YME. Menghapuskan perbudakan, mencintai kebersihan, kesehatan dan menganjurkan penduduk membuat sumber air (sumur) untuk kelompok warga. Mengutamakan musyawarah (syura) dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, umum sudah diketahui penanggalan Raja Batak sejak awal telah menggunakan penanggalan Islam, yakni Hijriah. Itu terlihat dari cap kerajaan para penguasa Batak, misalnya cap Sisingamangaraja XII bertuliskan Arab/Melayu dengan penanggalan tahun 1304 Hijratun Nabi.
Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak, cenderung mendekati simbol-simbol ke-Islaman. Misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan.
Berbagai peraturan dibuat Sisingamangaraja I menjadi pedoman kehidupan bagi etnis Batak di kemudian hari juga bernuansa monotheistis. Sayangnya, pedoman itu kemudian tidak berlanjut, karena ketiadaan penganjur Islam (pendakwah) dekat dengan kerajaan Batak sepeninggal Raja Uti. Islam Tauhid (monotheis) itulah di kemudian hari dikenal sebagai kepercayaan Parmalim, tutur Ustadz Djamaluddin Batubara.
Perebutan Eksistensi
Sayangnya kepercayaan asli etnis Batak itu, belakangan kian menyusut dan kehilangan eksistensinya. Pasca menyebarnya Protestantisme dibawa Dr. I.L Nomensen ke Tano Batak, Parmalim menghadapi tekanan keras. Watak ekspansionisme Protestan, ternyata tidak memberikan peluang kepada kepercayaan asli itu untuk tetap hidup dalam keberagaman keyakinan. Akibatnya, Parmalim menjadi keyakinan yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.
Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak beragama Kristen Protestan/Katholik meyakini konsep Trinitas.
Kedua, sinkretisme simbol-simbol Parmalim-Islam mengganggu missi untuk menjadikan Tano Batak sebagai wilayah Judea di Andalas. Artinya, klaim bahwa etnis Batak sama dengan orang Kristen masih bisa dianulir.
Berbeda dengan orang Minang, Aceh dan Melayu yang bisa mengklaim dirinya sama dengan orang Islam.
Ketiga, kebijakan pemerintah dan agama-agama dominatif mengabaikan, bahkan berniat melenyapkan eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.
Sebagai sebuah warisan spiritual masa lalu di negeri ini, Ugamo Parmalim seharusnya tidak bisa dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada belakangan sebagai sempalan agama-agama dominatif (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu).
Hal itu dikarenakan Parmalim memang dilahirkan dari rahim keyakinan masa lalu nenek moyang bangsa, keberadaannya jauh lebih terdahulu dibanding agama-agama resmi yang ada.
Akan bijaksana jika political will pemerintah, khususnya Pemprov Sumatera Utara memberikan perlindungan atas keberadaan Ugamo Parmalim itu.
Seminar tentang Perjuangan Sisingamangaraja XII yang berlangsung Akhir Mei 2007 lalu di Medan, setidaknya bisa menjadi langkah awal yang baik untuk memberikan ruang lebih terbuka kepada Parmalim menunjukkan eksistensinya di tengah pergaulan antar agama.
Sebaliknya, kasus penolakan masyarakat sekitar terhadap pendirian Parsaktian di Jalan Air Bersih, Medan , beberapa waktu lalu, patut dipandang sebagai upaya tidak memberikan ruang toleransi kepada kepercayaan asli etnis Batak itu.
Semestinya toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul prasangka toleransi beragama cuma lip servis digunakan untuk kepentingan sempit agamaagama tertentu.
*Abdul Khalik